Jumat, 14 Juni 2013

Aku dan Bidadari

 
Dalam mimpiku…..., terlihat sesosok bidadari Tuhan dari surga. Aku melihat dia berada di halaman istana yang begitu indah, mendengarkan musik demi menyenangkan Sang Pemilik. Bidadari itu berdiri di samping sebuah pilar yang tinggi, gaunnya putih memucat dalam temaram senja, sementara angin yang nakal mempermainkan lipatan-lipatan gaunnya….., jiwaku bergemuruh bagaikan guntur, aku begitu kagum melihatnya, namun ia tidak membalas pandanganku. Matanya hanya terpaku pada pohon-pohon cemara yang tumbuh di tengah-tengah halaman istana. Pandangan matanya tak berkedip; dia menatap dengan penuh kesungguhan, seakan-akan tengah tenggelam dalam arena meditasi dengan berkiblat pada ketiga pohon itu.

Aku berjalan mendekatinya, ketika aku sampai disampingnya, bidadari itu menolehkan wajahnya padaku, diikuti pandangan matanya yang jeli. Sejenak ia menatap aku yang sedang mengagumi kecantikannya. Aku merasa bak disambar petir sehingga tak terasa darah mengalir dari kedua sudut mataku karena keindahannya. Andai ada yang dapat melihat putri surga ini, pastilah ia akan menggila dan akan memotong serta mengiris-iris tangannya sendiri saking takjubnya dan akan menyesalkan mengapa tak seorang lelaki pun yang berusaha untuk mendekati dan mencintainya dengan sungguh-sungguh, itulah yang terpikir dalam benakku. Rambutnya yang hitam lebat nan indah tergerai di bahu, tubuhnya berteteskan parfum yang menebarkan aroma yang begitu harum mewangi. Kulitnya yang bersih bercahaya bagaikan kemilau intan, dahinya putih bagaikan pualam; alisnya hitam melengkung bak busur yang diletakan di atas anak-anak panah dalam matanya. Sepasang mata jeli di musim semi membuat lidahku terasa kelu tuk berbicara.

Wajahku memucat karena rasa aneh yang bergejolak, tubuh ini terasa menggigil saat memandang sang bidadari….. Bidadari itu membuka mulutnya, bibir merahnya yang manis terkuak, dan dia pun berbicara padaku dengan suara yang halus nan mesra.
Katanya, “Aku mengenalmu, wahai pemimpi. Aku melihatmu dari kamar tidurku, engkau sedang keluyuran tersesat dan mabuk. Sekarang engkau berjalan terhuyung-huyung memasuki halaman istanaku. Kemana para penjaga yang seharusnya mencegahmu masuk ? kemana para tentara yang seharusnya menahanmu.?”

Aku berkata, “Duhai engkau makhluk Tuhan yang berparas indah…., keindahanmu telah memabukan aku. Sungguh......, adalah layak jika engkau menendangku keluar dari halaman istanamu, namun dimana aku harus tinggal jika engkau mengusirku?.... Dalam kebingunganku dimanakah aku dapat menemukan kedamaian atau pelipur lara.?”. dan jika aku mengganggumu, katakanlah padaku wahai engkau makhluk Tuhan yang bermata jeli nan indah.

“….Aku hanya berbicara dengan orang-orang yang dekat denganku saja wahai engkau pemimpi, bagaimana bisa engkau menuntut perhatian dariku…., padahal engkau tidak pernah kenal dengan aku walau sedetik pun.” Ujar sang bidadari.

Aku bertanya, “Duhai makhluk Tuhan yang bermata jeli, apakah caci-makianmu ini merupakan pesan untukku..?”

“…. Engkau masih tidur?” bidadari balik bertanya. “Akankah kau pernah terjaga?. Sebenarnya tak pernah ada yang mencacimu, dan tak ada yang berniat untuk menendangmu dan kau seharusnya malu.” Ujar sang bidadari….. Dia membentangkan kedua tangannya yang putih nan lembut  padaku dan membelai wajahku….. “Meskipun demikian aku mencintaimu.” Kata bidadari…, Kau bilang kami menolakmu, tapi kaulah yang menolak kami, dan ketahuilah, kami adalah sosok yang senantiasa menunggu.” Lanjut sang bidadari…,

“….Bebaskanlah dirimu dari rasa sedih dan jangan kehilangan kesempatan untuk dapat bergembira. Luka hatimu tak dapat diobati dengan gula dan air mawar,  tidak pula dengan ciuman yang disertai celaan….” Lanjutnya.
“….Oleh karena itu,  bersabarlah dan jauhi mereka yang berpura-pura baik dan jangan sekali-kali bergaul dengan mereka. Karena, orang-orang bodoh dan jahat tak mungkin mengetahui nilai orang-orang mulia. Jalankan petunjuk dan nasihat orang tua dan mursyid-mu. Jangan membuka dan membongkar rahasia derita hatimu pada mereka yang belum pernah merasakan derita dan belum matang. Karena, tidak dibenarkan membuka rahasia pada setiap orang….”
“….Jangan menjerit, mengeluh, dan merintih karena sang Kekasih dan jangan pula menampakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Langkahkan kakimu dan hadapkan wajahmu hanya pada-Nya, agar engkau meraih keberhasilan dan kemenangan. ….”
“….Apapun yang terjadi, maka yakinilah bahwa itu berasal dari al-Haq dan terimalah dengan lapang dada dan penuh cinta…, tambatkanlah hatimu hanya pada Sang Maha Kasih dan jangan berhenti berusaha dan berharap hanya kepada-Nya. Maka, engkau akan meraih dan memperoleh apa yang engkau inginkan. Insya Alloh….”
Sambil tersenyum ia berkata padaku: “….Cinta adalah jernihnya rasa dengan selalu mengingat-Nya secara terus-menerus. Karena orang yang mencintai, maka ia akan banyak menyebut nama yang dicintainya.  Cinta adalah kecocokan hati dengan yang dicintai disertai ingatan yang selalu terhadap pihak yang dicintai dan dapat  menemukan manisnya kedekatan dengan sang kekasih.......... Cinta adalah pujian”.
Aku begitu takjub akan keindahan kelembutan kata-kata yang keluar dari mulutnya yang begitu mempesona seakan-akan membuat air kehidupan dapat berfungsi untuk menghidupkan, sebagaimana air Khidir yang memberikan kekekalan hidup, yang menjadikan hatiku begitu bercahaya, tentram dan tenang, dan tanpa sadar ketika ku tatap matanya yang jeli dan rona di pipinya terucap oleh ku:
    Aku capai hakikat-Mu dalam rahasia hati
    Lalu lisanku berbisik memanggil-Mu
    Kita berkumpul karena berbagai makna
    Dan berpisahpun karena berbagai makna

          Jika ketiadaan-Mu dari kedipan mataku
          Itu karena keindahan-Mu
          Namun cintaku telah menjadikan-Mu
          Begitu dekat denganku.

“….Berbahagialah orang yang meneguk segelas cinta-Nya, merasakan kenikmatan bermunajat kepada Dzat Yang Mahaagung dan didekatkan kepada-Nya dengan kelezatan untuk mencintai-Nya, sehingga hatinya penuh dengan cinta, terasa dekat dengan-Nya penuh kesenangan dan mencintai-Nya dengan penuh kerinduan.” ia membalas kata-kataku.  Dan sambil berbisik bidadari itu berkata padaku:

”....Duhai yang kerinduannya sedang membara..., mereka tak punya lagi tempat untuk berteduh dan mengadu selain pada kekasihnya.....”

Aku nyaris tak sanggup berkata-kata, tak terasa butiran-butiran air mata menetes jatuh ke pipi saking terhanyut oleh keindahan kelembutannya, suara di tenggorokanku terasa tercekik. Namun bidadari itu malah mendekat dan terus mendekat padaku…ia membelai…., memeluk…., kemudian mengecup keningku dengan penuh rasa………, dan tak terasa tinta pena ini pun mengering……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar